Habar Pemilu 2024

Menghadapi Pemilu 2024, MUI Banjar Bicara Soal Politisasi Agama

Menghadapi Pemilu 2024, MUI Kabupaten Banjar Bicara Soal Politisasi Agama

Featured-Image
MUI Banjar menggelar workshop pencegahan politisasi agama di Martapura, Sabtu (24/6). Foto: apahabar.com/Hendra Lianor

apahabar.com, MARTAPURA - Menghadapi Pemilu 2024, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banjar angkat bicara soal politisasi agama dalam workshop yang digelar di Gedung Islamic Center KH Anang Djazuli Seman, Martapura, Sabtu (24/6) siang.

Bertema Cegah Politisasi Agama, Penguatan Modernisasi Beragama Menghadapi Pemilu 2024, salah satu pembicara adalah HM Quzwini yang juga Wakil Ketua MUI Banjar Bidang Kerukunan Umat Beragama.

Adapun workshop diikuti puluhan organisasi kemasyarakatan, tokoh agama, pengajar agama, hingga mahasiswa.

"Indonesia bukan negara penganut suatu agama, bukan pula sekuler. Indonesia berada di tengah-tengah dengan ideologi Pancasila. Sesuai sila pertama, Indonesia mengakui dan memfasilitasi setiap umat beragama," ungkap Quzwini.

"Artinya, agama tidak terpisah dengan negara. Begitu juga politik tidak bisa terpisah dengan negara, karena politik adalah sistem dalam negara, sehingga agama pun tidak bisa pisah dengan politik," imbuhnya.

Namun demikian, Wakil Rektor Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Martapura tersebut menyebut keterlibatan agama dalam politik dapat dibedakan antara legitimasi agama dan politisasi.

"Legitimasi agama adalah penggunaan agama sebagai alat untuk memperkuat pemikiran dan tindakan seseorang, seperti dalam bentuk aspirasi politik, kepentingan atau gerakan politik melawan kezaliman," beber Quzwini.

Sebaliknya politisasi agama adalah penggunaan agama atau simbol-simbol agama sebagai batu loncatan politik praktis atau memobilisasi massa untuk memenangkan calon tertentu dalam jabatan publik.

"Tentu akan semakin keliru apabila agama disertai kampanye negatif, ujaran kebencian terhadap lawan politik, berorentasi untuk kepentingan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat," jelas Quzwini.

Berbeda jika menggunakan ajaran agama yang bersifat absoulut atau qath'i, maka hal ini tidak bisa disebut politisasi agama.

"Dengan catatan harus berorientasi kepada kepentingan umum, disampaikan dengan bijak, sopan santun, serta tidak memuat ujaran kebencian terhadap lawan politik. Namun kalau digunakan untuk menyerang, berarti termasuk dalam politisasi agama," tegas Quzwini.

Sementara Ketua Bawaslu Banjar, Fajeri Tamzidillah, menjelaskan tugas sebagai pengawas hanya dapat menindak politisasi Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dalam kampanye. Ini pun terbatas hanya kepada penghinaan.

Hal tersebut sesuai Pasal 280 ayat 1 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berisi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain; menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

"Kalau tidak dalam masa kampanye, berarti tidak dapat masuk delik pidana pemilu. Namun demikian, masih bisa masuk dalam delik pidana umum yang ditangani kepolisian," terang Fajeri.

Di sisi lain, Bawaslu Banjar berharap keberadaan forum kerukunan umat beragama dapat mencegah politisasi berbau SARA.

"Melalui mereka dapat menyampaikan kepada masyarakat agar jangan  memprovokasi atau menyebarkan informasi yang belum tentu benar," tegas Fajeri.

"Seiring perkembangan media sosial yang kian pesat, masyarakat juga harus jeli memilah informasi yang dapat berakibat perpecahan, ujaran kebencian dan lainnya," pungkasnya.

Editor
Komentar
TrendingLainnya